Rabu, 27 Oktober 2010

---Download Dauroh Tajwid Al Ustadz Muhammad Naim, Lc---


Alhamdulillah, kajian Tajwid oleh Al Ustadz Muhammad Na'im, Lc yang di adakan oleh ikhwan-ikhwan ahlus sunnah di banjarbaru kalimantan selatan pada tanggal 14 - 16 Dzulqo'dah 1431 H bertepatan 21-23 Oktober 2010 sudah di upload. Tafadhdhol bagi ikhwah yang ingin mendownload kajian ini.

Hasil rekaman kajian bisa langsung di klik melalui link download di bawah ini:

1. Tajwiid sesi 1 _Muraaja’ah daurah tajwid yang lalu sd ahkaamul laam
2. Tajwiid sesi 2_Ahkaamul laam sd huruf isti’laa & huruf ithbaq
3. Kajian Ummahaat_Menjaga Lisan
4. Tajwiid sesi 3_Huruf Isti’laa & Ithbaq sd Mutamaatsilaan, Mutajaanisaan, Mutaqaaribaan & Mutabaa’idaan
5. Tajwiid sesi 4_Mutamaatsilaan, Mutajaanisaan, Mutaqaaribaan & Mutabaa’idaan sd Huruf Dhaad dan Zhaa
6. Kajian Masjid Asy-Syifaa_Mengikuti Jejak Salafush Shalih (Para Shahabat Nabi) dalam Beragama

Tafadhdhol untuk disebarkan sebanyak-banyaknya tanpa tujuan komersial.

ZadaniyALLOHU 'ilman wa hirshon...

Sumber: Kajian Ahlus Sunnah Kalimantan Selatan

Minggu, 24 Oktober 2010

Buku Tamu


Assalamu'alaikum Warohmatulloh Wabarokatuh...

Bagi ikhwah yang telah sudi mampir di blog yang sederhana ini, mohon di isi ya buku tamunya... biar dapat saling berkunjung atau bersilaturrahim dan juga saling memberi nasehat....

Baarokallohufiikum ayyuhal ikhwah....

Biografi Singkat Abu Affan



Bismillah


Assalamu'alaikum warohmatulloh wabarokatuh...

Salam kenal kepada ikhwah sekalian, di sini saya akan sedikit bercerita tentang biografi singkat saya. Karena seperti kata pepatah Tak kenal maka Ta'aruf...:)

Nama : Sofyan Hadi

Panggilan : Sofyan atau Hadi sama saja...

Kunyah : Abu Affan

Alamat : Banjarmasin - Banjarbaru - Surabaya
Aktivitas Sekarang : masih aktif sebagai Mahasiswa Pascasarjana S-2 Teknik Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Baiklah, mungkin cukup itu dulu ya infonya yang bisa dibagikan. Sekarang ana coba bercerita tentang kehidupan ana secara singkat (namanya juga biografi singkat, hehe).


Saya hanyalah seorang pemuda yang fakir ilmu dan amal yang pernah berbuat kesalahan... Namun Alhamdulillah saya ditunjukkan oleh Alloh sebuah jalan kebenaran yang sebelumnya saya tidak tahu yang mana jalan kebenaran tersebut. Tahukah kalian apa jalan kebenaran tersebut? ya, manhaj salafush sholeh, jalannya orang-orang terdahulu yang sholeh yang berpedoman pada Alqur'an dan Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik ummat ini.
Sebelum menemukan jalan kebenaran ini, saya sempat berjalan di jalan 'lain' yang mirip dengan jalan kebenaran, namun setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata bukanlah jalan kebenaran karena jalan itu bermuara pada suatu kebatilan yang tidak disadari, kecuali bagi mereka yang diberi rahmat oleh Alloh subhanahu wa ta'ala.

Jalannya orang-orang beriman akan senantiasa penuh dengan onak duri ujian dan cobaan. Bagaimana dapat menyelamatkan diri kita dan keluarga kita dari adzab Alloh subhanahu wa ta'ala merupakan perjuangan yang berat dan perlu kesungguhan.

Semoga Alloh Subhanahu wa Ta'ala memudahkan bagi kita agar senantiasa di atas jalan yang haq ila yaumil haq...

Al Faqir Ila Maghfiroti Robbihi


Abu Affan

---Rumah Belajar Abu Affan---

Bismillah...

Washsholatu wasalamu 'ala rosulillah wa 'ala aalihi wa ashabihi ajma'in.


Sebagaimana blog-blog pada umumnya, masing-masing blog memiliki karakter maupun ciri khas yang membedakannya dengan yang lainnya. Begitu juga blog yang ana beri nama "Rumah Belajar Abu Affan" ini. Sebenarnya ga ada ciri khas sih dari blog ini. Rumah Belajar Abu Affan, terdiri atas dua frasa, yang pertama rumah belajar dan yang kedua abu affan.

Apa itu rumah belajar? rumah belajar yakni adalah suatu tempat dimana didalamnya kita dapat memperoleh segala sesuatu yang dari asalnya kita belum tahu menjadi tahu. Dan hal yang pokok yang harus diketahui oleh seorang muslim adalah tentang ilmu agama, yakni pengetahuan akan Tuhannya, Rosulnya dan agamanya. Selebihnya dari perkara itu hanyalah perkara yang mubah yang seorang hamba tidaklah berdosa jika tidak mengetahuinya. Adapun dari perkara dunia, boleh saja bagi seseorang untuk mempelajarinya, namun jangan sampai hal tersebut justru melalaikannya dari mempelajari sesuatu yang merupakan kewajibannya. Frasa yang kedua yakni abu affan. Itu merupakan nama kunyah ana. Singkatnya, semoga blog ini dapat menjadi rumah belajar yang baik buat ana pribadi dan juga bagi siapa saja yang mampir ke blog ini.

Gambaran umum dari blog ini yakni berisi tentang segala hal yang insyALLOH bermanfaat yang kebanyakan ana ambil dari hasil co-pas sumber-sumber yang terpercaya dan sebagian lagi jika ana ada waktu, ada juga hasil dari karya ana sendiri. Rencananya sih di blog ini diposting masalah-masalah keislaman, berupa artike-artikel islam yang terdiri atas kategori aqidah, nasihat, ibroh, fiqh, kewanitaan, manhaj dan lain sebagainya. Kemudian ada juga link-link download kajian islam dan juga ebook-ebook islami. Oh iya, kalonya ada kajian-kajian juga, bisa ana posting disini jadwalnya. Yah, pokoknya hal-hal yang bermanfaat lah.. InsyALLOH...

Tapi... karena ini masih baru bikin blognya, makanya masih banyak yang belum dikerjakan dan dilengkapi, semoga kedepannya bisa tambah lebih baik lagi. Mohon masukannya ya ikhwah..

Semoga Amal kita diterima oleh Alloh Subhanahu wa Ta'ala...

ZadaniyALLOHU 'ilman naafi'an wa 'amalan shoolihan..

Sabtu, 23 Oktober 2010

Makna Aqidah dan Urgensinya Sebagai Landasan Agama


oleh: Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan

Aqidah Secara Etimologi

Aqidah berasal dari kata 'aqd yang berarti pengikatan. Kalimat "Saya ber-i'tiqad begini" maksudnya: saya mengikat hati terhadap hal tersebut.

Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Jika dikatakan "Dia mempunyai aqidah yang benar" berarti aqidahnya bebas dari keraguan. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu.

Aqidah Secara Syara'

Yaitu iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-kitabNya, para RasulNya dan kepada Hari Akhir serta kepada qadar yang baik maupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.

Syari'at terbagi menjadi dua: i'tiqadiyah dan amaliyah.

I'tiqadiyah adalah hal-hal yang tidak berhubungan dengan tata cara amal. Seperti i'tiqad (kepercayaan) terhadap rububiyah Allah dan kewajiban beribadah kepadaNya, juga beri'tiqad terhadap rukun-ru­kun iman yang lain. Hal ini disebut ashliyah (pokok agama). (1)

Sedangkan amaliyah adalah segala apa yang berhubungan dengan tata cara amal. Seperti shalat, zakat, puasa dan seluruh hukum-hukum amaliyah. Bagian ini disebut far'iyah (cabang agama), karena ia di­bangun di atas i'tiqadiyah. Benar dan rusaknya amaliyah tergantung dari benar dan rusaknya i'tiqadiyah.

Maka aqidah yang benar adalah fundamen bagi bangunan agama serta merupakan syarat sahnya amal. Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala:

"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhan­nya." (Al-Kahfi: 110)

"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu ter­masuk orang-orang yang merugi." (Az-Zumar: 65)

"Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik)." (Az-Zumar: 2-3)


Ayat-ayat di atas dan yang senada, yang jumlahnya banyak, menunjukkan bahwa segala amal tidak diterima jika tidak bersih dari syirik. Karena itulah perhatian Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam yang pertama kali adalah pelu­rusan aqidah. Dan hal pertama yang didakwahkan para rasul kepada umatnya adalah menyembah Allah semata dan meninggalkan segala yang dituhankan selain Dia.

Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala:

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu', ..." (An-Nahl: 36)
Dan setiap rasul selalu mengucapkan pada awal dakwahnya:
"Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada tuhan bagimu selainNya." (Al-A'raf: 59, 65, 73, 85)

Pernyataan tersebut diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu'aib dan seluruh rasul. Selama 13 tahun di Makkah -sesudah bi'tsah- Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam mengajak manusia kepada tauhid dan pelurusan aqidah, karena hal itu merupakan landasan bangunan Islam. Para da'i dan para pelurus agama dalam setiap masa telah mengikuti jejak para rasul dalam berdakwah. Sehingga mereka memulai dengan dakwah kepada tauhid dan pelurusan aqidah, setelah itu mereka mengajak kepada se­luruh perintah agama yang lain.

(1) Syarah Aqidah Safariniyah, I, hal. 4.

Wallohu'alam

Sumber: http://belajar-tauhid.blogspot.com/

---Kisah Seguci Emas---

Sebuah kisah yang terjadi di masa lampau, sebelum Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan. Kisah yang menggambarkan kepada kita pengertian amanah, kezuhudan, dan kejujuran serta wara’ yang sudah sangat langka ditemukan dalam kehidupan manusia di abad ini.

Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Ada seorang laki-laki membeli sebidang tanah dari seseorang. Ternyata di dalam tanahnya itu terdapat seguci emas. Lalu berkatalah orang yang membeli tanah itu kepadanya:
“Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”
Si pemilik tanah berkata kepadanya:
“Bahwasanya saya menjual tanah kepadamu berikut isinya.”
Akhirnya, keduanya menemui seseorang untuk menjadi hakim. Kemudian berkatalah orang yang diangkat sebagai hakim itu:
“Apakah kamu berdua mempunyai anak?”
Salah satu dari mereka berkata:
“Saya punya seorang anak laki-laki.”
Yang lain berkata:
“Saya punya seorang anak perempuan.”
Kata sang hakim:
“Nikahkanlah mereka berdua dan berilah mereka belanja dari harta ini serta bersedekahlah kalian berdua.”
Sungguh, betapa indah apa yang dikisahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Di zaman yang kehidupan serba dinilai dengan materi dan keduniaan. Bahkan hubungan persaudaraan pun dibina di atas kebendaan. Wallahul musta’an.

Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan, transaksi yang mereka lakukan berkaitan sebidang tanah. Si penjual merasa yakin bahwa isi tanah itu sudah termasuk dalam transaksi mereka. Sementara si pembeli berkeyakinan sebaliknya; isinya tidak termasuk dalam akad jual beli tersebut.

Kedua lelaki ini tetap bertahan, lebih memilih sikap wara’, tidak mau mengambil dan membelanjakan harta itu, karena adanya kesamaran, apakah halal baginya ataukah haram?
Mereka juga tidak saling berlomba mendapatkan harta itu, bahkan menghindarinya. Simaklah apa yang dikatakan si pembeli tanah: “Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”

Barangkali kalau kita yang mengalami, masing-masing akan berusaha cari pembenaran, bukti untuk menunjukkan dirinya lebih berhak terhadap emas tersebut. Tetapi bukan itu yang ingin kita sampaikan melalui kisah ini.

Hadits ini menerangkan ketinggian sikap amanah mereka dan tidak adanya keinginan mereka mengaku-aku sesuatu yang bukan haknya. Juga sikap jujur serta wara’ mereka terhadap dunia, tidak berambisi untuk mengangkangi hak yang belum jelas siapa pemiliknya. Kemudian muamalah mereka yang baik, bukan hanya akhirnya menimbulkan kasih sayang sesama mereka, tetapi menumbuhkan ikatan baru berupa perbesanan, dengan disatukannya mereka melalui perkawinan putra putri mereka. Bahkan, harta tersebut tidak pula keluar dari keluarga besar mereka. Allahu Akbar.

Bandingkan dengan keadaan sebagian kita di zaman ini, sampai terucap dari mereka: “Mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal?” Subhanallah.

Kemudian, mari perhatikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma:

“Siapa yang terjatuh ke dalam syubhat (perkara yang samar) berarti dia jatuh ke dalam perkara yang haram.”

Sementara kebanyakan kita, menganggap ringan perkara syubhat ini. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, bahwa siapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar itu, bisa jadi dia jatuh ke dalam perkara yang haram. Orang yang jatuh dalam hal-hal yang meragukan, berani dan tidak memedulikannya, hampir-hampir dia mendekati dan berani pula terhadap perkara yang diharamkan lalu jatuh ke dalamnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskan pula dalam sabdanya yang lain:

“Tinggalkan apa yang meragukanmu, kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Yakni tinggalkanlah apa yang engkau ragu tentangnya, kepada sesuatu yang meyakinkanmu dan kamu tahu bahwa itu tidak mengandung kesamaran.

Sedangkan harta yang haram hanya akan menghilangkan berkah, mengundang kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menghalangi terkabulnya doa dan membawa seseorang menuju neraka jahannam.

Tidak, ini bukan dongeng pengantar tidur.
Inilah kisah nyata yang diceritakan oleh Ash-Shadiqul Mashduq (yang benar lagi dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

Kedua lelaki itu menjauh dari harta tersebut sampai akhirnya mereka datang kepada seseorang untuk menjadi hakim yang memutuskan perkara mereka berdua. Menurut sebagian ulama, zhahirnya lelaki itu bukanlah hakim, tapi mereka berdua memintanya memutuskan persoalan di antara mereka.

Dengan keshalihan kedua lelaki tersebut, keduanya lalu pergi menemui seorang yang berilmu di antara ulama mereka agar memutuskan perkara yang sedang mereka hadapi. Adapun argumentasi si penjual, bahwa dia menjual tanah dan apa yang ada di dalamnya, sehingga emas itu bukan miliknya. Sementara si pembeli beralasan, bahwa dia hanya membeli tanah, bukan emas.

Akan tetapi, rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat mereka berdua merasa tidak butuh kepada harta yang meragukan tersebut.
Kemudian, datanglah keputusan yang membuat lega semua pihak, yaitu pernikahan anak laki-laki salah seorang dari mereka dengan anak perempuan pihak lainnya, memberi belanja keluarga baru itu dengan harta temuan tersebut, sehingga menguatkan persaudaraan imaniah di antara dua keluarga yang shalih ini.
Perhatikan pula kejujuran dan sikap wara’ sang hakim. Dia putuskan persoalan keduanya tanpa merugikan pihak yang lain dan tidak mengambil keuntungan apapun. Seandainya hakimnya tidak jujur atau tamak, tentu akan mengupayakan keputusan yang menyebabkan harta itu lepas dari tangan mereka dan jatuh ke tangannya.
Pelajaran yang kita ambil dari kisah ini adalah sekelumit tentang sikap amanah dan kejujuran serta wara’ yang sudah langka di zaman kita.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Syarah Riyadhis Shalihin mengatakan:

"Adapun hukum masalah ini, maka para ulama berpendapat apabila seseorang menjual tanahnya kepada orang lain, lalu si pembeli menemukan sesuatu yang terpendam dalam tanah tersebut, baik emas atau yang lainnya, maka harta terpendam itu tidak menjadi milik pembeli dengan kepemilikannya terhadap tanah yang dibelinya, tapi milik si penjual. Kalau si penjual membelinya dari yang lain pula, maka harta itu milik orang pertama. Karena harta yang terpendam itu bukan bagian dari tanah tersebut"

Berbeda dengan barang tambang atau galian. Misalnya dia membeli tanah, lalu di dalamnya terdapat barang tambang atau galian, seperti emas, perak, atau besi (tembaga, timah dan sebagainya). Maka benda-benda ini, mengikuti tanah tersebut.

wallahu a’lam.

Saudaraku, Kemanakah Engkau Yang Dahulu?


Oleh: Abu Fauzan Hanif Nur Fauzi -hafizhahullah- *

[ Nasehat kepada diri sendiri, teman-teman kami terkhusus kepada teman-teman lama kami… Semoga Allah senantiasa menjaga diri kami dan Antum semuanya ]

Alhamdulillah wa sholatu wa salam ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘ala aalhi wa shohbihi wa salam

Merupakan sebuah kenikmatan tatkala Allah subhaanahu wa ta’ala menunjuki seorang hamba untuk dapat mengenal Islam. Allah ta’ala berfirman :

“Sungguh Allah telah memberikan anugerah kepada orang-orang yang beriman, tatkala (Allah) mengutus seorang Rasul di tengah-tengah mereka dari golongan mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka (dari kesyirikan, kebid’ahan, dan akhlak buruk lainnya [Lihat Taisir Karimirrahman]), dan mengajarkan kepada mereka al kitab dan al hikmah, meskipun sebelumnya, mereka dalam kesesatan yang nyata.” (Ali ‘Imran : 164)

Bahkan nikmat hidayah Islam merupakan nikmat terbesar yang diterima seorang manusia dari Allah. Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan:

“Orang yang mendapatkan hidayah adalah orang yang beramal dengan kebenaran, dia menginginkan hidayah tersebut ada pada dirinya, dan ini merupakan anugerah Allah yang paling besar kepada seorang hamba.”( Miftah Dar As Sa’adah, Asy Syamilah)

Hidayah Islam akan membimbing hamba mengetahui kedudukan dirinya di hadapan Allah ta’ala. Hidayah Islam akan memahamkan hamba akan hakikat keberadaan dirinya di dunia. Hidayah Islam akan membawa hamba untuk senantiasa taat dan tunduk kepada Rabbul ‘Alamin dan menjaga diri dari perbuatan yang mendatangkan kemurkaan-Nya. Sungguh… beruntunglah orang-orang yang berjalan di atas bumi ini, dengan bimbingan dan naungan hidayah Allah ‘Azza wa Jalla.

[ Allah Perintahkan Manusia Meminta Hidayah ]

Di setiap rakaat dalam sholat-sholat kita, bukankah Allah perintahkan kepada kita untuk membaca surat Al Fatihah??? Bukankah dalam salah satu ayat, Allah berfirman:

“(Ya Allah), berikanlah kepada kami hidayah menuju jalan yang lurus”(Al Fatihah : 6)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun adalah orang yang senantiasa berdoa kepada Allah ta’ala memohong hidayah. Dari shahabat Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca doa :

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu hidayah, ketaqwaan, penjagaan diri, dan hati yang merasa cukup”(HR. Muslim, no. 2721)

Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya tentang pentingnya meminta hidayah. Dan beliau adalah beliau, yang telah diampuni seluruh dosa dan kesalahannya, dijamin oleh Allah ta’ala dengan jaminan surga. Lantas kita… ??? Di manakah kita dibandingkan dengan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[ Akhi…Hargailah Nikmat yang Agung Ini ]

Tatkala Allah ta’ala melunakkan hati seorang hamba untuk dapat menerima al haq, yang ketika itu mayoritas manusia menolaknya, maka sungguh…inilah anugerah terbesar dari Allah kepada hamba. Tidaklah kenikmatan ini didapatkan oleh semua manusia, Allah (dengan segala hikmah dan pengetahuan-Nya) hanyalah menunjuki hamba tertentu saja diantara hamba-hamba-Nya. Allah ta’ala berfirman:

“Dan sesungguhnya Allah menyesatkan orang-orang yang Dia kehendaki dan Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang Dia kehendaki” (Q.S Fathir:8)

Namun terkadang banyak manusia lalai akan nikmat yang agung ini, lalai dan menyia-nyiakannya. Benih-benih hidayah yang dahulu pernah tumbuh dalam hatinya, benih hidayah yang dahulu seseorang bisa merasakan lezatnya ketaatan kepada Allah karenanya, merasakan manisnya hidup di atas sunnah… Ada sebagian manusia menelantarkan kenikmatan ini, seakan-akan mereka adalah orang yang belum pernah mengenal hidayah, kembali menjadi awwam.

Sungguh sangat dikhawatirkan apa yang menimpa kaum Yahudi, menimpa pula kepada mereka. Allah ta’ala berfirman:

“Tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah akan memalingkan hati mereka (dari kebenaran). Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (As Shof : 5)

Saudaraku… Ayat ini berbicara tentang orang-orang Yahudi, yaitu orang-orang yang mengetahui kebenaran, namun tidak mau mengikutinya. Merekalah orang yang dimurkai oleh Allah ‘azza wa jalla.

Syaikh As Sa’diy rahimahullahu mengatakan, “Salah satu puncak kelancangan dan kesesatan adalah tatkala seorang manusia mengetahui kebenaran, lantas meninggalkannya. Mereka berpaling dari kebenaran dengan maksud dan keinginan mereka. Maka Allah ta’ala akan semakin memalingkan hati mereka dari kebenaran, sebagai hukuman bagi mereka, atas kesesatan yang mereka pilih. Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka, karena mereka tidaklah pantas untuk menerima kebaikan, tidak pantas bagi mereka melainkan kebinasaan. (Taisir Karimirrahman, Cetakan Maktabah Ar Rusyd, hal. 758)

Beliau melanjutkan, “Ayat ini, yaitu As Shof ayat 5, menunjukkan bahwa ketika Allah ta’ala tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik, bukanlah berarti Allah dzolim kepada mereka. Tetapi, semua ini hanyalah disebabkan karena perbuatan mereka. Mereka sendirilah lah yang menutup pintu-pintu hidayah, setelah mereka mengilmuinya.”(Taisir Karimirrahman, Cetakan Maktabah Ar Rusyd, hal. 758)

Allah ta’ala telah berfirman :

“Kami palingkan hati dan penglihatan mereka, sebagaimana pada awalnya mereka tidak beriman kepadanya (Al Quran), dan Kami biarkan mereka bimbang dalam kesesatan” (Al An’am : 110)

[Akhi…Kemanakah Engkau yang Dahulu…???]

Kita saksikan realita dengan mata kita, sebagaian saudara-saudara kita yang dahulu bersama kita mempelajari sunnah, yang dahulu sangat semangat mengamalkan sunnah, menggebu-gebu mendakwahkan sunnah, saat ini hanyut tertelan gelombang fitnah.

Jenggot yang dahulu menjadi kebanggaan, sekarang tinggallah menjadi kenangan. Pakaian syar’i yang dahulu engkau kenakan, celanamu yang dahulu di atas mata kaki, seiring berlalunya zaman, semakin memanjang, hingga menyapu jalanan.

Lupakah engkau, wahai saudaraku… bahwa kita dahulu pernah berlomba-lomba memenuhi seruan adzan? Lupakah engkau… bahwa kita dahulu sangat semangat menghadiri kajian-kajian? Bukankah engkau dahulu terhadap teman-teman perempuan selalu menjaga pandangan?

Saudariku, kemana jilbabmu yang engkau kenakan? Jilbabmu yang dahulu engkau banggakan, jilbab yang menutup sempurna, kini semakin mengecil, lantas menghilang. Saudaraku, kemanakah dirimu yang dahulu…?

Sungguh, kita saksikan saat ini, betapa ganasnya fitnah yang melanda orang-orang yang beriman. Fitnah yang menyerang kaum muslimin.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Bersegeralah dalam beramal ketika datangnya fitnah, fitnah yang bagaikan potongan gelapnya malam, seorang yang beriman di pagi hari, menjadi kafir di sore hari atau seorang yang beriman di sore hari, menjadi kafir di pagi harinya, dia menukar agamanya dengan sebagian dari perhiasan dunia.”(HR. Muslim, no 328)

Tidaklah selamat dari fitnah ini melainkan dia yang ditunjuki oleh Allah untuk tegar menapak jalan kebenaran. Fitnah syubhat dan fitnah syahwat. Hanyalah kepada Allah, seorang hamba memohon hidayah. Allahu musta’an.

Allah subhaanahu wa ta’ala adalah Dzat yang Maha Membolak balikkan hati manusia. Orang yang dahulu sangat semangat menyerukan sunnah, saat ini telah berubah menjadi seorang yang membenci sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa :

“Ya Allah, Dzat Yang Maha membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu”, kemudian ada yang bertanya tentang doa tersebut. Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya tidaklah anak Adam melainkan hatinya berada diantara dua jari dari jemari-jemari Allah. Siapa yang dikehendaki, Allah akan luruskan dia, dan siapa yang dikehendaki, Allah akan simpangkan dia.”(HR. Tirmidzi no. 3517, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini : Sanadnya Shahih)

Saudaraku…

Ini adalah sebatas nasehat …

Bagi kami…sebagai motivator supaya tegar berjalan melawan fitnah syubhat dan syahwat…

Bagi saudara-saudara kami… sebagai pengingat agar tetap istiqomah, hingga berjumpa Allah kelak di akhirat…

Terkhusus bagi saudara-saudara lama kami… yang dahulu kita pernah bersama…

Ini sebatas nasehat…

Karena agama tidaklah tegak melainkan dengan nasehat….

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Ad Dinnu An Nashihat”

Washolallahu ‘ala Nabiyina Muhammad…

Selasa, 19 Oktober 2010

---Sudahkah Kita Wara' ??---


Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari

Wara’ adalah suatu sikap meninggalkan perkara yang syubhat (samar atau tidak jelas halal haramnya) karena khawatir terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan. (At-Ta‘rifat, Al-Jurjani, 1/325, Subulus Salam, 2/261).


Berkata Abu Abdirrahman Al-Umari Az-Zahid: “Apabila seorang hamba memiliki sifat wara`, niscaya dia akan meninggalkan perkara yang meragukannya menuju kepada perkara yang tidak meragukannya.” (Jami`ul Ulum, 1/281)


Sementara Hassan bin Abi Sinan rahimahullah mengatakan: “Tidak ada sesuatu yang lebih ringan/mudah daripada sikap wara`. Apabila ada sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah.” (Jami`ul Ulum,1/281).

Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah di dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 88 berkata: “Wara’ itu memiliki empat tingkatan:

1. Berpaling dari setiap perkara yang dinyatakan keharamannya.
2. Wara‘ dari setiap perkara syubhat yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dijauhi, namun disenangi baginya untuk meninggalkannya. Dalam perkara ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.”
3. Wara‘ dari sebagian perkara yang halal karena khawatir jatuh kepada perkara yang haram.
4. Wara‘ dari setiap perkara yang tidak ditegakkan karena Allah dan ini merupakan wara‘nya para shiddiqin (orang-orang yang benar imannya).

Sikap wara’ secara mendetail hanya dapat direalisasikan oleh orang yang istiqamah jiwanya (dalam mengerjakan kewajiban dan meninggalkan perkara yang dilarang), seimbang amalannya dalam takwa dan wara‘. Adapun orang yang suka berbuat keharaman secara zhahir, kemudian ia ingin bersikap wara’ dalam berbagai syubhat yang rinci dan tersamar, maka hal ini tidak akan mungkin baginya, bahkan sikapnya ini diingkari (sekedar omong kosong). Karena itulah Ibnu ‘Umar radhiyallohu 'anhu mengingkari orang-orang dari penduduk Iraq yang bertanya kepadanya tentang hukum darah nyamuk. Beliau berkata: “Mereka bertanya kepadaku tentang darah nyamuk sementara mereka telah menumpahkan darah Al-Husain radhiyallohu 'anhu, padahal aku telah mendengar Rasulullah shalallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Keduanya (Al-Hasan dan Al-Husain) adalah kembangku yang semerbak dari penduduk dunia”. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3753) [Jami‘ul Ulum,1/283]

Contoh Sikap Wara‘

Jika membaca perjalanan hidup pendahulu kita yang shalih, kita dapati mereka adalah orang-orang yang menyandang seluruh akhlak Islam yang mulia, baik akhlak yang wajib maupun yang sunnah. Betapa kalam (ucapan) Allah dan Rasul-Nya (Al Qur’an dan As Sunnah) menancap di hati-hati mereka dan mengakar di sanubari mereka. Dan tidak cukup dengan itu, kita dapati juga mereka adalah orang yang bersemangat dalam mengamalkan apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya itu dalam kehidupan mereka sehari-hari. Salah satu akhlak yang bisa kita lihat dari amalan mereka adalah wara‘ . Kisah wara‘ mereka di antaranya:

1. ‘Aisyah radhiyallohu 'anha mengabarkan bahwa Abu Bakar radhiyallohu 'anhu pernah mencicipi makanan yang diberikan oleh budaknya. Maka budak tadi berkata kepadanya: “Apakah engkau tahu dari mana aku dapatkan makanan ini?” Abu Bakar radhiyallohu 'anhu bertanya: “Dari mana engkau mendapatkannya?” Budaknya menjawab: “Dulu di masa jahiliyah aku pernah meramal untuk seseorang, sebenarnya aku tidak pandai meramal namun aku cuma menipunya. Lalu orang itu menemuiku dan memberiku upah atas ramalanku. Inilah hasilnya, apa yang engkau makan sekarang.” Mendengar hal tersebut Abu Bakar radhiyallohu 'anhu segera memasukkan tangannya ke dalam mulutnya untuk memuntahkan makanan yang terlanjur masuk ke dalam kerongkongannya, kemudian ia memuntahkan semua makanan itu. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3842)

2. Nafi‘ berkata: ‘Umar Ibnul Khaththab radhiyallohu 'anhu menetapkan subsidi rutin bagi para shahabat dari kalangan Muhajirin yang awal berhijrah sebanyak 4000 sementara putranya ia tetapkan sebesar 3500. Kemudian ada yang berkata kepada ‘Umar: “Bukankah Ibnu ‘Umar termasuk dari kalangan Muhajirin, mengapa engkau mengurangi subsidinya?” Umar menjawab: “Ayahnya-lah yang membawanya berhijrah. Dia tidak sama dengan orang yang berhijrah sendiri (yang tidak dibawa oleh orang tuanya).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3912)

3. Yazid bin Zurayi‘ rahimahullah mewarisi harta ayahnya sebesar 500 ribu namun ia tidak mengambilnya. Ayahnya bekerja untuk para sultan, sedangkan Yazid bekerja membuat keranjang dari daun kurma, dan dari penghasilan itulah yang digunakannya untuk makan sehari-hari sampai beliau t meninggal dunia. (Al-Wara‘, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 7)

Banyak lagi bisa kita dapatkan kisah-kisah wara‘ mereka yang bisa dilihat pada perjalanan hidup mereka di kitab-kitab biografi para ulama.

Semoga kita semua dapat mengambil 'ibroh dari kisah-kisah salafunash sholeh dalam hal ke wara'-an mereka dan menjadikan kita senantiasa bersikap wara' dalam kehidupan kita. Aamiin ya Robb Al 'Alamiin..

Sumber: di ambil dari kumpulan artikel bentuk CHM Majalah AsySyariah Vp. 1.8

=Saudaraku...! Tinggalkan Segala Kebimbanganmu...!=


Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”


Hadits ini merupakan pokok dalam hal meninggalkan syubhat dan memperingatkan dari berbagai jenis keharaman [1]. Al-Munawi rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan salah satu kaidah agama dan pokok dari sifat wara`, di mana wara` ini merupakan poros keyakinan dan menenangkan dari gelapnya keraguan dan kecemasan yang mencegah cahaya keyakinan.”

Al-Askari rahimahullah menyatakan: “Seandainya orang-orang yang pandai merenungkan dan memahami hadits ini niscaya mereka akan yakin bahwasanya hadits ini telah mencakup seluruh apa yang dikatakan tentang menjauhi perkara syubhat.” (Faidhul Qadir, 3/529)

Hadits yang mulia ini diriwayatkan oleh cucu kesayangan dan permata hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallohu 'anhuma, ketika seseorang yang bernama Abul Haura’ As-Sa`di bertanya kepadanya tentang apa yang dihafalnya dari hadits kakeknya yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam.

Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya, juga At-Tirmidzi, An-Nasa’i dalam Sunan-nya [2] mengeluarkan hadits ini dari jalan Syu’bah dari Buraid bin Abi Maryam dari Abul Haura’ dari Al-Hasan bin Ali radhiyallohu 'anhuma. Dan hadits ini termasuk sekian hadits yang dilazimkan/diharuskan oleh Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullah terhadap Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah agar mengeluarkannya dalam shahih keduanya [3].

Hadits ini shahih, dishahihkan oleh para imam ahli hadits, termasuk di antaranya Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad Mimma Laysa fish-Shahihain (1/222-224).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang mulia ini memerintahkan kepada kita untuk menjauh dari perkara yang meragukan, baik berupa ucapan maupun amalan, baik dilarang ataupun tidak. Dan kita disuruh mengambil perkara yang meyakinkan.

Dengan demikian, ketika dihadapkan dengan syubhat, sebagai suatu perkara yang meragukan karena tidak diketahui halal dan haramnya/ samar keadaannya, sepantasnya kita berhenti padanya, menjaga diri kita agar tidak terjatuh ke dalamnya dan serta-merta meninggalkannya. Sementara sesuatu yang telah jelas halalnya kita tahu tidak akan membuat keraguan, kebimbangan, kegoncangan dan kegelisahan di hati seorang yang beriman, bahkan jiwa dengan tenang akan menjalaninya. Sebaliknya perkara yang syubhat, apabila perkara tersebut diamalkan atau dijalani akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan di hati seseorang. (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam, 1/280, Tuhfatul Ahwadzi, 7/187, Sunan An-Nasa’i bi Hasyiyah As-Sindi, 8/328).

Berkata Al-Qadhi rahimahullah: “Dalam kejujuran itu ada keberhasilan (kesuksesan) dan keselamatan sekalipun manusia terkadang memandang di situ ada kebinasaan. Maka bila engkau mendapatkan dirimu dalam keadaan ragu terhadap sesuatu, tinggalkanlah perkara tersebut. Karena jiwa seorang mukmin yang sempurna keimanannya merasa tenang dengan kejujuran yang bisa menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan akan merasa ragu dengan kedustaan. Keraguanmu terhadap sesuatu merupakan perkara yang dikhawatirkan keharamannya maka berhati-hatilah engkau dari perkara tersebut, sedangkan ketenanganmu terhadap sesuatu merupakan tanda benarnya hal tersebut, maka ambillah”. (Faidhul Qadir, 3/528)

Sebagai permisalan, apabila seseorang ragu terhadap suatu masalah, apakah hal itu halal ataukah haram, maka hendaknya ia tinggalkan keraguan itu kepada apa yang diyakini atau kepada apa yang halal yang ia yakini atau apa yang tidak ia ragukan. Yang demikian ini berarti ia telah menjaga agamanya. (Kaset Durus Al-Arba’in, Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh rahimahullah)

Demikian pula dalam perkara ibadah, ia kerjakan yang ia yakini. Apabila muncul keraguan secara tiba-tiba maka keraguan tersebut tidak bisa menghilangkan keyakinan yang telah ada. Sebagai permisalan apabila ia ragu dalam shalatnya, apakah ia telah berhadats atau tidak, atau apakah keluar angin dari duburnya atau tidak, maka ia tetapkan keadaannya sebagaimana yang ia yakini (ia shalat dalam keadaan berwudhu) dan ia membuang keraguan yang muncul belakangan. (Kaset Durus Al-Arba’in oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, kaset Durus Al-Arba’in oleh Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh)

Kaidah yang digunakan di sini menurut ulama ahli ushul: “Sesuatu yang yakin tidak bisa dikalahkan oleh sesuatu yang ragu.”

Ath-Thibi rahimahullah menyatakan: “Namun tentunya yang dapat merasakan dan menimbang hal yang demikian ini hanyalah orang-orang yang memiliki jiwa yang bersih dari noda-noda dosa dan aib.” (Faidhul Qadir, 3/529)

Bila seorang muslim mewujudkan apa yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di atas, maka ia akan dapat menjaga kehormatannya dari celaan dan menjaga dirinya agar tidak jatuh ke dalam keharaman. Karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Siapa yang berhati-hati/menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya.”
Perbuatan yang demikian ini akan mengantarkan kepada sikap wara‘ .

Bersambung insyALLOH pada postingan berikutnya..

Baarokallohufiikum

Footnote (Faidah hadits):

1. Termasuk sikap wara’ bila seseorang berhati-hati dan menjauh dari perkara syubhat.
2. Perkara yang halal akan menenangkan hati dan tidak menggelisahkannya.
3. Sementara perkara yang syubhat membekaskan keraguan di hati dan akan menggelisahkannya, demikian pula perkara dosa.

Minggu, 17 Oktober 2010

-Kapan Lagi Saatnya Untuk Bertaubat Wahai Saudaraku??-


Hari demi hari telah berlalu semenjak kita dilahirkan kemudian beranjak menuju kedewasaan yang dimulai semenjak aqil baligh hingga menuju kematian yang pasti dan pasti akan terjadi. Sebagai manusia yang merupakan makhluk yang diciptakan oleh Alloh Subhanahu wa Ta'ala tentu saja kita menyadari bahwa kehidupan tidak hanya sampai pada kematian saja kemudian kita dibiarkan begitu saja. Namun, kita akan merasakan kehidupan yang sesungguhnya, yakni kehidupan setelah kematian. Semoga Alloh Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada kita kehidupan yang baik setelah kematian dengan limpahan karunia dan rahmat-Nya.

Alloh Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Q.S Al-A’la: 17)

dan juga dalam firman-Nya:

وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ اْلأُولَى

“Dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu dari permulaan (dunia).” (Q.S Adh-Dhuha: 4)

Oleh sebab itu, di dunia inilah kesempatan bagi kita semua untuk mengumpulkan pundi-pundi perbekalan menuju akhirat yang kekal abadi. Namun, dalam perjalanan menapaki dunia ini tentu banyak ragam coba dan ujian yang menerpa kehidupan seorang yang beriman laksana ombak dan angin menerpa bahtera di samudera tak bertepi. Dalam perjalanan inilah manusia akhirnya banyak yang tergelincir sehingga terjatuh ke dalam samudera dosa dan khilaf, namun sungguh rahmat Alloh Subhanahu wa Ta'ala amatlah luas.

Memang manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun manusia yang terbaik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan dosa sama sekali, akan tetapi manusia yang terbaik adalah manusia yang ketika dia berbuat kesalahan dia langsung bertaubat kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala dengan sebenar-benar taubat. Bukan sekedar taubat sesaat yang diiringi niat hati untuk mengulang dosa kembali.

Kata taubat mengandung makna yang dalam, yang membawa implikasi yang besar. Ini bukanlah – sebagaimana yang dipikirkan banyak orang – hanya sekedar lip service (maksudnya sekedar diucapkan di lidah – pent.), setelah diucapkan seseorang kemudian melanjutkan (perbuatan) dosa-dosanya. Jika engkau memikirkan arti dari ayat berikut:

وَأَنِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya.” (QS Hud [11] : 30)

maka engkau akan melihat bahwa taubat adalah sesuatu yang mengikuti permohonan ampun.

Sesuatu yang sangat besar dan penting seperti itu tentunya memiliki syarat-syarat yang menyertainya. Para ulama telah menjelaskan syarat-syarat taubat, berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Syarat-syarat itu meliputi:

Segera menghentikan dosa
Menyesali apa yang telah lalu
Berketetapan hati untuk tidak kembali kepada dosa-dosa
Mengembalikan hak-hak korban (yang dizalimi –pent.) atau meminta maaf kepada mereka.

Sebagian ulama juga menyebutkan lebih rinci sebagai syarat dari taubat nasuha, yang dikutip berikut ini dengan beberapa contoh:

1. Bahwa dosa-dosa harus dihentikan semata-mata karena Allah, bukan untuk alasan lainnya, seperti tidak dapat melakukannya, atau takut terhadap perkataan orang lain.

Seseorang yang menghentikan perbuatan dosanya karena dampak negatifnya terhadap reputasi dan kedudukannya di hadapan orang lain, atau pada pekerjaannya, tidak dapat digambarkan sebagai seseorang yang bertaubat.

Seseorang yang menghentikan perbuatan dosanya karena alasan kesehatan dan kekuatan, seperti orang yang menghentikan pelacuran dan tuna susila karena takut terkena penyakit yang mematikan, atau karena melemahkan tubuh dan ingatannya, tidak dapat digambarkan sebagai orang yang bertaubat.

Seseorang yang menolak menerima suap karena takut orang yang menawarkannya tersebut dari lembaga penegak hukum yang sedang menyamar, tidak dapat disebut sebagai orang yang bertaubat.

Orang yang tidak minum anggur atau memakai narkoba hanya karena dia tidak memiliki uang untuk membeli barang-barang tersebut tidak dapat digambarkan sebagai orang yang bertaubat.

Orang yang tidak melakukan dosa karena alasan yang diluar kuasanya, tidak dapat digambarkan sebagai orang yang bertaubat. Maka seorang pembohong yang kehilangan kekuatan pidatonya, pezina yang menjadi impoten, pencuri yang kehilangan anggota badannya dalam kecelakaan semuanya harus merasa menyesal atas apa yang telah mereka lakukan dan menghentikan setiap keinginan untuk melakukannya lagi. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

الندم توبة

“Penyesalan adalah taubat.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah; Shahih al-Jami’, 6802)

2. Orang yang berbuat dosa harus merasa bahwa dosanya tersebut menjijikkan dan berbahaya. Hal ini berarti bahwa, jika seseorang melakukan taubat nasuha, tidak ada sedikitpun rasa suka atau senang ketika dia mengingat dosa-dosanya di masa lalu, atau keinginan untuk mengulanginya di masa depan. Di dalam kitabnya Ad-Da’u wa Ad-Dawa dan Al-Fawa’id, Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan berbagai pengaruh buruk dari dosa-dosa, termasuk yang berikut ini:

Hilangnya ilmu – merasa asing di dalam hati – menemui kesulitan dalam urusan-urusan seseorang – lemah fisik – hilangnya keinginan untuk taat kepada Allah – hilangnya nikmat– kurang beruntung karena tiada pertolongan Allah (taufik) – sesaknya dada, yakni tidak bahagia – bertambahnya amal buruk – terbiasa dengan dosa – hina dalam pandangan Allah – hina dalam pandangan manusia – dikutuk oleh binatang – pakaian dari hal-hal yang memalukan – tertutupnya hari dan termasuk dalam orang-orang yang dikutuk Allah – do’a tidak terkabulkan – kerusakan di darat dan di laut – kurangnya harga diri atau kehormatan – hilangnya rasa malu – hilangnya nikmat – jatuh ke dalam perangkap syaithan – su’ul khatimah – azab di hari kiamat.

Seorang hamba hendaknya bersegera menuju taubat, karena menunda taubat itu sendiri adalah dosa yang karenanya taubat dibutuhkan.

Dia hendaknya memiliki rasa takut bahwa taubatnya tidak sempurna karena sesuatu hal dan dia tidak boleh beranggapan bahwa taubatnya telah diterima, sehingga dia tidak merasa puas dan aman dari rencana Allah.

Dia harus melaksanakan kewajiban yang telah dilalaikannya pada masa lalu, seperti membayar zakat yang ditahannya di masa lalu – karena Allah dan karena hak-hak orang miskin, dan seterusnya.

Dia harus menghindari tempat-tempat dimana dosa-dosa dilakukan jika kehadirannya di tempat itu dapat mendorongnya untuk melakukan lagi.

Dia harus menghindari orang-orang yang menolongnya berbuat dosa.

(Uraian di atas diambil dari Fawa’id hadits qaatil al-mi’ah – faedah dari hadits mengenai orang yang telah membunuh seratus orang)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf [43] : 67)

Teman-teman yang buruk akan mengutuk satu sama lain pada Hari Pengadilan, itulah sebabnya mengapa pada saat engkau bertaubat, engkau harus menjauh dari mereka, menghindari mereka dan memperingatkan orang lain terhadap mereka jika mereka tidak mengindahkan dakwah atau nasihatmu. Jangan biarkan syaithan menggodamu untuk kembali kepada mereka dengan alasan untuk menasihati mereka, terlebih jika engkau mengetahui bahwa dirimu lemah dan tidak dapat menahan godaan. Ada banyak kejadian orang-orang kembali jatuh ke dalam dosa karena mereka kembali kepada perkumpulan teman-teman yang buruk.

Dia harus menghancurkan barang-barang haram miliknya, seperti minuman alkohol, alat-alat musik (seperti ‘ood – yakni alat musik yang menggunakan senar, dan mizmar – yakni alat musik yang ditiup), gambar-gambar dan film yang haram, buku-buku yang tidak berguna dan patung-patung. Barang-barang itu harus dipatahkan, dihancurkan dan dibakar. Membuang semua perangkap jahiliyah pada titik memulai lembar baru adalah sangat penting. Betapa sering dengan menyimpan barang-barang semacam itu menjadi penyebab pemiliknya mengingkari taubatnya dan menjadi sesat setelah mendapat petunjuk! Semoga Allah menolong kita untuk istiqamah.

Dia harus memilih teman-teman yang saleh yang akan menolongnya, bukannya teman-teman yang buruk. Dia harus berusaha keras menghadiri majelis dimana (nama) Allah senantiasa disebut dan dimana dia dapat memperoleh ilmu. Dia harus mengisi waktunya dengan mengejar hal-hal yang berharga sehingga syaithan tidak akan menemukan cara untuk mengingatkannya akan masa lalu.

Dia harus membangun kembali tubuhnya yang telah hidup dengan hal-hal yang haram, dengan mentaati Allah dan berusaha keras untuk memeliharanya dengan hal-hal yang halal saja, sehingga tubuhnya akan menjadi kuat.

Dia harus bertaubat sebelum maut sampai di tenggorokannya (yakni sebelum ajal datang), dan sebelum matahari terbit dari sebelah Barat (salah satu tanda besar datangnya hari kiamat) sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang bertaubat sebelum sakaratul maut berada di tenggorokannya, Allah akan mengampuninya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi, Shahih Al-Jami’, 6132),

dan juga,

“Barangsiapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari sebelah Barat, Allah akan menerima taubatnya.” (HR Muslim).

Untuk itu wahai saudaraku, mari kita semua bertaubat kepada Alloh Subhanahu wa Ta'ala selagi hayat masih dikandung badan, selagi matahari belum terbit dari barat dengan sebenar-benar taubat yang dilandasi dengan niat ikhlas semata-mata karena Alloh Subhanahu wa Ta'ala. Semoga taubat kita diterima oleh Alloh Subhanahu wa Ta'ala. Aamiin Ya Robb Al'Aalamiin.


al faqir ila maghfiroti robbihi


abu affan

Sumber: dari berbagai risalah tentang taubat

-Ad Dien An Naashihah (Agama Adalah Nasihat)-


Dari Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad Daari, sesungguhnya Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda: ”Agama itu adalah nasehat.” Kami bertanya: ”Untuk siapa?” Sabda beliau: ”Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh kaum muslimin.” (HR Muslim).

Kata ”nasihat” merupakan sebuah kata singkat penuh isi, maksudnya ialah segala hal yang baik. Dalam bahasa Arab tidak ada kata lain yang pengertiannya setara dengan kata ”nasihat”,sebagaimana disebutkan oleh para ulama Bahasa Arab tentang kata ”al fallaah” yang tidak mempunyai padanan setara, yang mencakup makna kebaikan dunia dan akhirat.

Kalimat ”agama adalah nasihat” maksudnya adalah sebagai tiang dan penopang agama, sebagaimana halnya sabda Nabi shalallahu alaihi wa salam ”haji adalah Arafah”, maksudnya bahwa wukuf di ‘Arafah adalah tiang dan bagian terpenting haji.

Tentang penafsiran kata ”nasihat” dan berbagai cabangnya, Khathabi dan ulama-ulama lainnya mengatakan:

Pertama, nasihat untuk Allah, maksudnya beriman semata-mata kepada-Nya, menjauhkan diri dari syirik dan sikap ingkar terhadap sifat-sifatNya, memberikan kepada Allah sifat-sifat sempurna dan segala keagungan, menyucikan-Nya dari segala kekurangan, menaati-Nya, menjauhkan diri dari perbuatan dosa, mencintai dan membenci sesuatu semata-mata karena-Nya, berjihad menghadapi orang-orang kafir, mengakui dan bersyukur atas semua nikmat-Nya, berlaku ikhlas dalam segala urusan, mengajak melakukan segala hal-hal yang baik sebagaimana disebutkan di atas, menganjurkan orang lain untuk berbuat semacam itu, dan bersikap lemah lembut kepada sesama manusia. Khatabi berkata: ”Secara prinsip, sifat-sifat baik tersebut kebaikannya kembali kepada pelakunya sendiri, karena Allah tidak memerlukan kebaikan dari siapa pun.”

Kedua, nasihat untuk kitab-Nya, maksudnya adalah beriman kepada firman-firman Allah dan diturunkan-Nya firman-firman itu kepada rasul-Nya, meyakini bahwa itu semua tidaklah sama dengan perkataan manusia dan tiada pula dapat dibandingkan dengan perkataan siapa pun. Kemudian menghormati firman Allah, membacanya dengan sungguh-sungguh, melafazhkannya dengan baik dengan sikap rendah hati dalam membacanya, menjaganya dari takwil orang-orang yang menyimpang, membenarkan segala isinya, mengikuti hukum-hukumnya, memahami berbagai macam ilmunya dan kalimat-kalimat perumpamaannya, mengambilnya sebagai pelajaran, merenungkan segala keajaibannya, mengamalkan dan menerima apa adanya tentang ayat-ayat mutasyabih, mengkaji ayat-ayat yang bersifat umum, dan mengajak manusia pada hal-hal sebagaimana tersebut di atas dalam mengimani kitabullah.

Ketiga, nasihat untuk rasul-Nya, maksudnya membenarkan ajaran-ajarannya, mengimani semua yang dibawanya, menaati perintah dan larangannya, membelanya semasa hidup maupun sesudah matinya, melawan para musuhnya, membela para pengikutnya, menghormati haknya, memuliakannya, menghidupkan sunnahnya, mengikuti seruannya, menyebarluaskan tuntunannya, tidak menuduhnya melakukan hal yang tidak baik, menyebarluaskan ilmunya dan memahami segala arti dari ilmu-ilmu itu, mengajak manusia kepada ajarannya, berlaku santun dalam mengajarkannya, mengagungkannya dan berlaku baik ketika membaca sunnah-sunnahnya, tidak membicarakan hal-hal yang tidak diketahuinya tentang sunnahnya, memuliakan para pengikut sunnahnya, meniru akhlak dan kesopanannya, mencintai keluarganya, para sahabatnya, meniggalkan orang yang melakukan perkara bid’ah dan orang yang tidak mengakui salah seorang shahabat beliau dan lain sebagainya.

Keempat, nasihat untuk para pemimpin umat Islam, maksudnya ialah menolong mereka dalam kebenaran, menaati perintah mereka dan memperingatkan kesalahan mereka dengan lemah lembut, memberitahu mereka jika mereka lupa, memberitahukan kepada mereka apa yang menjadi hak-hak kaum muslim, tidak melawan mreka dengan senjata, dan makmum shalat di belakang mereka, berjihad bersama mereka dan mendo’akan mereka untuk mendapatkan kebaikan.

Kelima, nasihat untuk seluruh kaum muslimin selain para penguasa, maksudnya ialah memberikan bimbingan kepada mereka apa yang dapat memberikan kebaikan bagi mereka dalam urusan dunia dan akhirat, memberikan bantuan kepada mereka, menutup aib dan cacat mereka, menghindarkan mereka dari hal-hal yang membahayakan dan mengusahakan kebaikan bagi mereka, menyuruh mereka berbuat ma’ruf dan mencegah mereka dari kemungkaran dengan sikap santun dan ikhlas, kasih sayang dengan mereka, memuliakan yang tua dan menyayangi yang muda, memberikan nasihat yang baik kepada mereka, menjauhi kebencian dan kedengkian, mencintai sesuatu yang menjadi hak mereka seperti mencintai sesuatu yang menjadi miliknya sendiri, tidak menyukai sesuatu yang tidak mereka sukai sebagaimana yang ia sendiri tidak menyukainya, melindungi harta dan kehormatan mereka, dan sebagainya baik dengan ucapan maupun perbuatan serta menganjurkan keapda mereka untuk menerapkan perilaku-perilaku tersebut diatas.

Memberi nasihat merupakan fardhu kifayah, jika telah ada yang melaksanakannya, maka yang lain terlepas dari kewajiban ini. Hal ini merupakan suatu keharusan yang dikerjakan sesuai kemampuan. Nasihat dalam bahasa Arab artinya membersihkan atau memurnikan seperti pada kalimat ”nashakhtul ‘asala” artinya saya membersihkan madu sampai tinggal tersisa yang murni. Akan tetapi, ada yang mengatakan bahwa nasihat juga mempunyai makna lain. Wallahu a’lam

Sumber:
Syarah Hadits Arbain Imam Nawawi, Ibnu Daqiq Al’Ied, Media Hidayah

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes